Dedikasikan Hidup untuk Pelajar Indonesia di Jerman ; Alwien Parahita Siap Berkolaborasi Untuk Indonesia

oleh -79 Dilihat
oleh
Dedikasikan Hidup untuk Pelajar Indonesia di Jerman ; Alwien Parahita Siap Berkolaborasi Untuk Indonesia

Jakarta, lahatsatu.id – Dalam berbagai aspek kehidupan seorang yang hidup di negeri yang jauh dari tanah kelahirannya Indonesia, dan tinggal di negara yang jauh seperti di Jerman, tentu banyak mendapatkan kendala yang sering terjadi di luar kebutuhan kita sehari-hari. Apalagi jika tidak ada keluarga atau kerabat yang bisa menolong saat mengalami kesulitan guna memenuhi setiap kebutuhan kita di negeri orang. Alwien Parahita, seorang staf KBRI Berlin mendedikasikan hidupnya untuk membantu para WNI, terutama para mahasiswa yang sedang menjalani studi di Jerman.

Alwien sebelumnya pernah menjalani hidup di Berlin, sebenarnya tidak direncanakan sebelumnya oleh Alwien Parahita. Namun, pada kenyataannya, pria yang saat ini menjabat sebagai Staf Politik di KBRI Berlin itu saat ini sudah bermukim di Ibu Kota Jerman itu selama kurang lebih 12 tahun.

Dia mengisahkan, saat remaja, dia adalah anak yang badung, sampai-sampai tidak begitu peduli dengan pendidikannya. Sampai akhirnya ketika dia harus mengikuti ujian akhir sebelum lulus dari SMAN 81 Jakarta, tempatnya menempuh pendidikan, dia tersadar. Selama ini sudah membuang-buang waktunya karena terlalu banyak main.

Sejak saat itulah, dia pun berpikir, kalau harus mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), dia pasti tersisih, karena para kompetitornya sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Akhirnya muncul sebuah pemikiran out of the box dalam dirinya.

“Saya mau melanjutkan pendidikan ke negara yang jauh. Yang tidak menggunakan Bahasa Inggris. Akhirnya pilihannya, jatuh ke Jerman,” kenang dia saat ditemui di Waldstrasse, Berlin, beberapa waktu lalu.

Pria kelahiran Jakarta, 5 November 1988 itu menuturkan, dia memilih Jerman selain karena alasan ingin mempelajari bahasa baru, juga karena di Jerman biaya pendidikan gratis. Namun, bukan berarti itu menyelesaikan semua masalah. Sebab, sebelum kuliah, dia harus mengikuti prauniversitas yang disebut Studienkolleg (Studkoll).

Dia beruntung bisa langsung masuk ke Studienkolleg, yang ditempuhnya dalam kurun waktu setahun. Kemudian dia masuk ke Jurusan Teknik Mesin di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin (HTW Berlin). Lagi-lagi dia merasa beruntung bisa lulus kuliah.

Alwien menyatakan dirinya beruntung, karena waktu itu dia sempat kuliah sambil kerja, sehingga pendidikannya sempat berantakan. Namun, lagi-lagi dia bangkit dan mampu mengejar gelarnya.

“Satu hal lagi yang membuat saya beruntung, saat itu, angka kelulusan mahasiswa Indonesia di Jerman sangat rendah. Di bawah 30 persen,” ungkapnya.

“Angka kelulusan anak-anak Indonesia yang mengikuti Studkoll juga memprihatinkan. Dari 10 anak, bisa ada 3 yang tidak lulus,” sambungnya.

Atas dasar itulah, pada 2012, dia bersama seorang rekannya memberanikan diri untuk menggagas sebuah gerakan sosial yang disebut Gerakan Indonesia Peduli (GIP). Ayah tiga orang anak itu menjelaskan, GIP adalah semacam kursus untuk anak-anak Indonesia yang akan tes masuk Studkoll.

Alwien juga menjelaskan, bahwa dana operasional untuk menyewa tempat diambil dari dana pribadinya hingga patungan dari beberapa orang. Para tutor yang mengajar juga adalah mahasiswa Indonesia atau siswa Studkoll yang mau bekerja secara sukarela pada akhir pekan.

Dalam perjalanannya. Alwien menceritakan, GIP itu sempat berpindah-pindah tempat. Bahkan suatu waktu mereka sempat menyewa di tempat sirkus. Pernah juga mereka bermasalah dengan hukum di Jerman.

“Waktu itu saya sudah jadi tenaga honorer di KBRI Berlin, tempat kami sempat didatangi polisi karena mereka menganggap kami melakukan aktivitas illegal, menggunakan rumah tinggal tidak sesuai dengan peruntukannya,” ungkap Alwien.

Namun, dari kejadian itulah, dia pun mulai berpikir, mau dibawa kemana GIP? Lalu dia pun sampai pada kesimpulan, kalau GIP harus dilegalkan. Tidak bisa terus-terusan menjadi sebuah gerakan underground. Setelah berjalan lima tahun, tepatnya pada 2017, GIP pun berbadan hukum.

Lalu, pada 2020, badan hukumnya meningkat menjadi Gesellschaft mit beschränkter Haftung (GmbH), semacam Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia. Namanya pun berubah jadi Germany Indonesia Professionals (GIP) yang mempunyai pelayanan spesifik untuk pelajar yang ingin menembus Studkoll.

Namun, karena terhadang pandemic Covid-19, sejak Agustus, GIP hanya menyelenggarakan kelas secara online. Meski telah bergerak secara profesional, namun, Alwien tidak melupakan sisi sosial dan pemberdayaan. Salah satunya melalui GIP Talks yang digelarnya. Temanya bermacam-macam, mulai dari pendidikan sampai hukum.

Mengenai masalah hukum, ternyata banyak juga WNI yang terjerat masalah hukum di Jerman. Masalah hukumnya tentu saja berbeda dengan yang kerap dialami di negara-negara yang banyak merekrut WNI sebagai pekerja migran. Misalnya di Malaysia, Taiwan, atau Arab Saudi.

Jika di negara-negara itu, problema yang kerap menjerat WNI kebanyakan berkaitan dengan pidana, masalah hukum di Jerman mayoritas berkaitan dengan pelanggaran aturan.

“Biasanya berkaitan dengan izin tinggal. Itu kebanyakan terjadi karena sikap abai dan enggan bertanya, sampai akhirnya tidak sadar terkena masalah hukum,” terang dia.

Kemudian, Alwien mulai berfikir untuk bekerjasama dengan seorang pengacara Jerman, Bernhardt Kanzler, untuk memberikan edukasi sekaligus advokasi tentang hukum. Alwien juga bisa memberikan advokasi soal hukum itu, karena dia sendiri pernah bermasalah dengan hukum di Jerman. Bahkan, dia pernah menjadi klien dari Kanzler. Permasalahan hukum yang membelitnya berkaitan dengan izin tinggal, dan butuh waktu sampai sembilan bulan untuk membereskannya.

Atas dasar itulah, dia pun mendedikasikan hidupnya untuk membantu WNI yang ada di Jerman. Statusnya sebagai staf di KBRI pun memudahkannya untuk melakukan itu. Dia mengungkapkan, dulunya, dia merasa geram dengan perwakilan Indonesia di Jerman, baik kedutaan besar maupun konsulat. Alasannya, kedua lembaga perwakilan negara itu tidak berbuat apa-apa meski angka masuk Studkoll, angka lulus Studkoll, serta angka lulus kuliah mahasiswa Indonesia di Jerman sangat rendah.

“Karena itulah, saya mengincar pekerjaan di KBRI. Terutama atase pendidikan KBRI, agar saya bisa berperan bagi anak-anak Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jerman,” papar bapak tiga anak itu.

Suami dari Fitria Anindhita itu menyatakan, saat ini, sejak dia masuk ke KBRI, terutama saat dia akhirnya bisa menjabat sebagai atase pendidikan di KBRI Berlin, dirinya sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Jerman untuk menemui para siswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negara yang dipimpin Kanselir Angela Merkel itu.

“Mereka butuh di-encourage, diberikan semangat dan konseling biar bersemangat untuk menyelesaikan pendidikan,” kata dia.

Alwien menyatakan, saat ini, angka keberhasilan masuk Studkoll, lulus Studkoll, maupun lulus kuliah sudah meningkat. Paling tidak sudah di atas 50 persen. Namun, dia menyatakan, ingin terus berusaha agar angka itu terus meningkat Bagi Calon Regenerasi Mendatang.(dion)