Ketergantungan LPG 3 Kg di Sumsel Dulu Dianggap Ancaman Kini Seperti Nyawa, Ada yang Langsung Dinikmati di Rumah

oleh -52 Dilihat
oleh
Pedagang gorengan di kawasan Pasar Lama Lahat, menggunakan LPG 3 kg menunjang usahanya. Foto Nurmala/lahatsatu.id

Terobosan pemerintah meluncurkan gas LPG ukuran 3 kilogram tahun 2007 silam menjadi tonggak penting bagi dunia migas tanah air. Bagaimana tidak, awalnya gas dengan warna tabung hijau layaknya buah melon itu dianggap ancaman bagi masyarakat.

Apalagi tersebar isu jika tabung gas jenis ini rawan meledak, sehingga banyak masyarakat memilih menolak bantuan cuma-cuma dari pemerintah ini.

Padahal jelas isu tersebut hoax alias tidak terbukti, dan sebenarnya tujuan pemerintah meluncurkan tabung gas jenis ini untuk menekan pemakaian minyak tanah, yang saat itu masih menjadi andalan masyarakat Indonesia kalangan menengah kebawah.

Tak terkecuali di Sumatera Selatan (Sumsel) awalnya LPG 3 kilogram sempat ditolak masyarakat, meski akhirnya secara berangsur masyarakat menerima dan menggunakan gas jenis ini.

Bahkan, lama kelamaan LPG 3 kilogram yang dikhususkan untuk masyarakat miskin ini menjadi andalan masyarakat di Sumsel. Saat ini sebagian besar masyarakat mengggunakan gas jenis ini.

Tidak hanya di perkotaan, masyarakat di pelosok pedesaan yang sebelumnya mengandalkan kayu bakar pun sudah berakhir menggunakan gas jenis ini.

Makin terbatasnya kayu bakar menjadi salah satu alasan, meski sebenarnya penggunaan gas ini dinilai masyarakat sangat efisiensi.

Jika selama ini masyarakat, khususnya ibu-ibu harus meluangkan waktu untuk mencari kayu bakar, dengan adanya gas ini, menjadi lebih mudah.

“Hanya dengan uang Rp 20 ribu saja, kita sudah bisa berhemat berminggu-minggu. Tidak perlu keluar masuk hutan mencari kayu bakar lagi,” ujar Nuraini, warga Kabupaten Lahat, Sumsel.

Perempuan 58 tahun ini pun mengakui, awal mula mendapatkan bantuan LPG 3 kilogram dari pemerintah, sempat dirinya tolak, karena dikhawatirkan meledak.

Namun, setelah mendengar dan melihat orang lain menggunakan gas ini tanpa memiliki resiko seperti yang tersebar, dirinya pun memutuskan menggunakan.

Alhasil, yang awalnya menganggap LPG 3 kilogram sebagai ancaman, saat ini justru dianggap seperti nyawa kedua.

“Tidak ada gas tidak bisa masak,” ujarnya, yang sudah lama meninggalkan kayu bakar dan minyak tanah.

Apa yang diceritakan Nuraini tentu saja sama dengan yang dialami banyak masyarakat Sumatra Selatan lainnya, yang sudah sangat bergantung dengan gas yang disubsidi pemerintah ini.

Berbagai kemudahan pun terus diluncurkan Pertamina, seperti di Kota Prabumulih Sumatera Selatan.

Ribuan sambungan rumah telah tersambung dengan jaringan distribusi gas bumi (jargas), masyarakat sudah dapat menikmati gas yang langsung dialirkan ke rumah masing-masing.

“Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah yang telah menyalurkan jaringan gas ke rumah,” kata Agustiawan, warga Prabumulih.

Ternyata sambungan rumah jaringan gas ini juga dilakukan di Kabupaten PALI, tetangga Kota Prabumulih.

Masyarakat di wilayah tersebut dimanjakan dalam menikmati jaringan gas di rumah masing-masing.

Jargas merupakan program berkelanjutan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin ketahanan energi nasional, mempercepat terlaksananya diversifikasi energi, mewujudkan energi berkeadilan serta pemerataan pembangunan.

Persyaratan pembangunan jargas, antara lain wilayah tersebut dekat dengan sumber gas/pipa gas, spesifikasi gas bumi terpenuhi (tidak membahayakan masyarakat), terdapat potensi pasar pengguna, komitmen pemerintah daerah serta memenuhi kaidah keselamatan dan keteknikan.

Tentu saja masyarakat Sumatera Selatan menunggu program dan terobosan lain dari Pertamina ini. Apalagi Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu provinsi lumbung energi.(Nurmala)